Esai 1


WARTEG dan SULTAN AGUNG
Oleh Dewi Ratih Hapsari

Beberapa saat  lalu dunia maya dihebohkan dengan postingan Tamara Bleszynski. Artis terkenal era 80-an itu mengunggah dirinya tengah makan di warteg. Ramai-ramai para netizen berkomentar jika Tamara Bleszynki  bangkrut dan jatuh miskin. Pasalnya Tamara  makan dengan lauk kering tempe, mie goreng dan bakwan. Tamara pun gerah dengan tuduhan miskin tersebut.
Warteg menurut pandangan sebagian masyarakat memang identik dengan kemiskinan. Dibalik kemiskinan yang disandangnya, warteg menyimpan kemewahan dan kekayaan yang berlimpah ruah. Tengok saja rumah para pemilik warteg di daerah Sido Katon dan Sida Purna Tegal. Berjejer puluhan rumah mewah bertingkat simbol kemapanan pemilik warteg.
Simbol kemiskinan bagi penikmat warteg tidak membuat warteg kehilangan pamor. Warteg Warmo di daerah Tebet,  Jakarta  salah satu buktinya. Terpampang foto Rhoma Irama, Ivan Gunawan hingga Jokowi menikmati makanan  yang dipimpin Warmo. Saking terkenalnya, Warteg Warmo telah memiliki lebih 50 cabang. Dengan demikian warteg Warmo mampu mengalahkan warbet. Warung Betawi, pemilik sah kota Jakarta.
Jika Warmo mampu membuka hingga 50 cabang warteg-wartegnya, sebliknya warbet di Jakarta yang terkenal hanya satu. Warung Betawi Muhayar, namanya. Warbet Muhayar tidak membuka cabang. Di Muhayar lauk yang disajikan adalah makanan khas orang Betawi. Rendang jengkol, sayur pepaya muda, dan aneka pepes ikan.
Keperkasaan warteg di Jakarta terkait dengan sejarah penyerangan Sultan Agung ke Batavia. Jika Sultan Agung menyerang Batavia dengan membawa bala tentaranya, Tegal “menyerang” Jakarta dengan membawa kuli-kuli proyek beserta nasi ponggolnya. “Penyerangan” nasi ponggol  “menduduki” kota Jakarta merupakan penujukkan jatidiri orang Tegal. Bagi orang Tegal nasi ponggol adalah makanan sehari-hari, makanan wajib.
.
Kemiskinan warteg ternyata telah merambah hingga ke New York, AS. Jika kita searching di google Ada Java Village, rumah makan ala warteg. Menu yang disajikan persis warteg di Indonesia. Aneka sayur dan lauk pauk disajikan dalam nampan alumunium. Lemari kaca di atas meja yang menjadi ciri khas warteg pun diusung Java Village. Mie goreng, kering tempe, opor ayam, gudeg putih, hingga telor dadar dapat dinikmati di Java Village.
Persebaran warteg hingga ke manca negara membuktikan warteg adalah simbol eksistensi. Sesuai dengan slogan kota Tegal yang memang simpel dan nendang. “Tegal Laka-Laka”. Tegal Tiada Bandingnya. “Tegal Keminclong, moncer kotane”. Slogan yang merepresentasikan kepribadian masyarakat  Tegal. Mengukuhkan Bahasa masyarakat Tegal. Ngapak-ngapak. Ora ngapak ora kepenak.
Warteg dan ngapak-ngapak adalah dua sisi keping mata uang. Bahasa Jawa Tegal yang berkonsonan “a” dengan penekanan “k” yang tajam membuat mereka sering menjadi bahan olok-olokan. Kekonsistensian pengucapan sega tetap sega bukan sego menunjukkan bagaimana kepribadian masyarakat Tegal sesungguhnya. Apa adanya tanpa basa-basi.
Ketika penulis membeli cincin  di Jalan  Ahmad Yani  menunjukkan peleburan budaya. Perempuan Cina pemilik toko berujar dengan bahasa Tegal  “rika aja pere-pere”, “bisane andong bae”.  Kontras dengan muka si penutur. Kuning. Sipit. Berambut lurus. Selama berada di toko itu belum terucap bahasa Indonesia sepatah pun dari pemilik toko itu. Alami bertutur dengan logat Tegal. Logat ngapak-ngapak.
Kekuatan warteg merambah hingga sisi bahasa. Pemerintah Kota Tegal dengan percaya diri mengadakan konggres bahasa Tegal tahun 2006. Kegiatan tersebut didukung oleh sastrawan dan budayawan Tegal. SN Ratmana, almarhum Ki Enthus Susmono, Eko Tunas, hingga Lanang Setiawan. Mereka seperti pelopor warteg. Eksis karena keunikannya. Eksis karena kekonsistensiannya. Dan Eksis karena kemarginalannya.




Komentar

Postingan Populer