Esai 2


ADA  CINTA  DI JALAN RAYA
Oleh : DEWI  RATIH  HAPSARI

 I don’t like Monday. Begitulah kira-kira ungkapan hati  jika berada di Minggu senja. Membayangkan rutinitas di hari Senin yang menjemukan. Mengoreksi penilaian harian, mengisi e-kin, finger print dan tentu saja upacara bendera!. Belum lagi jika ada supervisi dari kepala sekolah. Dan yang tak kalah melelahkan adalah mengajar lebih dari 30 jam seminggu.
Senin itu ketika jarum jam menggeliat di posisi 6.15 adalah saat untuk menikmati jalan raya dengan segala pernak-perniknya. Jeritan klakson motor, mobil, dan tronton adalah irama lagu kepedihan di pagi hari. Motor dan mobil saling menghimpit. Saling mendahului dan saling meraung-raung. Seperti hidup di rimba raya. Siapa yang paling kuat dialah yang berkuasa. Di jalan raya tidak jauh berbeda. Siapa yang paling nekat dialah yang berkuasa.
Setelah duduk di atas motor, petualangan Senin pagi pun dimulai. Penjaja nasi uduk di seberang masjid Jami berdiri mematung. Menunggu pembeli sepertinya. Setahun yang lalu, ketika ia baru memulai usahanya, adalah masa-masa perjuangan bagi dia. Tidak ada pembeli yang menghampiri lapaknya. Di sebelah kanannya penjual nasi dan aneka sayur mayur dikerumuni pembeli. Dari balik kaca helm, terlihat tatapan matanya iri melihat dagangan orang lain yang laris. Kini tatapan mata iri tidak dijumpai lagi. Sekarang ia sibuk melayani pembeli yang menikmati nasi uduknya.
Tepat di perempatan Hanoman, penjual ayam potong ditemani isterinya menggelar dagangannya. Perempuan itu bernama Nuning. Dulu ia murid di SMP 31 Semarang. Dengan senyum manis, Nuning menawarkan paha-paha ayam yang tergolek di atas meja. Anaknya yang masih 8 bulan tampak tenang di tengah dekapan Nuning. Sepertinya Nuning merasa nyaman jika ia berjualan ditemani suaminya.
Di pinggir kali, di bawah keangkuhan pohon asam, suami isteri dari Tambaklorok Semarang menawarkan ikan laut. Dorang. Barakuda. Selar. Kembung hingga udang dan bandeng. Bagiku, perempuan penjual ikan tersebut cerdas. Dia sangat cekatan menghitung uang yang harus dibayar pembeli. Suatu saat, saya kaget melihat pembeli membawa ember. Dari bentuk fisik, orang tersebut bukan dari suku Jawa. Aku menduga ia orang Manado. Dilihat dari kalimat yang terucap, ada kosa kata bahasa daerah yang terselip. Dugaanku bahwa ia orang Manado, karena orang Manado sangat suka makan ikan. Dan dia membeli ikan dengan membawa ember. Ia mengeluarkan uang hampir lima ratus ribu untuk ikan-ikan yang dimasukkan dalam ember. Ditambah kekurangan  minggu lalu sebesar tiga ratus ribu. Jumlah yang harus dibayar orang itu  hampir satu juta untuk membeli ikan. Kebalikan dengan saya. Hanya  membayar lima puluh ribu untuk ikan selar kecil-kecil.
Sampailah saya pada sebuah penginapan di jalan Hanoman. Selalu ada saja mobil yang keluar pagi-pagi dari hotel. Rasa penasaran saya membuncah. Saya berharap bisa melihat orang-orang yang ada di dalm mobil itu. Pagi itu saya beruntung. Tampak mobil sedan keluar dari hotel. Ketika menengok ke belakang untuk mengamati seperti apakah wajah-wajah yang ada di dalam mobil itu. Tampak laki-laki tampan berusia 30-an  duduk memegang kemudi. Di sebelahnya perempuan  yang sedang membaca koran. Tidak tampak mukanya karena tertutup koran. Setelah saya tahu koran yang dibaca, tawa saya meledak. Perempuan itu tidak sedang membaca.  Koran itu terbalik tulisannya.
Tepat di depan Giant, ada kakek berusia hampir 70. Kakek itu selalu memakai kaos oblong putih dan celana panjang gelap. Motor matik tanpa helm di parkir di sisi jalan. Mungkin rumah kakek itu dekat dengan Giant. Tangan kanan kakek itu membawa tas kecil. Kepalanya selalu menengok ke arah Barat. Barangkali dia sudah pikun, pikirku saat itu. Hingga akhirnya teka-teki kakek di depan Giant pecah sudah. Pagi itu, si kakek  memberikan bekal kepada cucunya. Rupanya setiap pagi kakek itu menunggu cucunya untuk memberikan bekal makan di sekolah. Sembari si ibu menerima bekal makanan untuk anaknya, kakek itu mengelus-elus rambut cucunya. Sungguh adegan kehidupan yang membuat air mata saya hampir tumpah!
Sampai di traffic light Tugu muda adalah penundaanke tempat kerja  yang cukup lama. Mobil kijang inova dengan nomer unik selalu membuatku tergelitik. Ketika lampu merah, si nenek yang tampak masih enerjik dan cantik selalu mengajari cucu yang duduk di sebelahnya berdoa menurut keyakinan mereka.  Dari spion kiri mobil inova si nenek itu, saya berusaha memahami apa yang diucapkannya. Ternyata si nenek mengajarkan kalimat-kalimat pujian kepada Tuhan yang dianutnya. Sungguh mulia. Proses pengenalan Tuhan diantara hiruk pikuk jalan raya.
Dan sampailah saya di ujung gerbang sekolahku. SMP Negeri 3 Semarang. Mungkinkan aku bisa  seperti penjual nasi uduk? Selalu sabar menanti remidi murid-muridku. Mungkinkah aku bisa seperti Nuning? Memberikan senyum manis pada murid-muridku. Mungkinkah aku bisa seperti si kakek Giant? Memberi bekal tiada lelah penuh cinta. Mungkinkah aku bisa seperti si nenek inova? Mengajarkan nilai-nilai Ketuhanan ditengah kesibukan. Aku tak tahu jawabanya. Aku hanya manusia tak sempurna yang berusaha mendidik anak bangsa!

Komentar

Postingan Populer